iNEWS, Medan — Peradilan Militer I-02 Medan menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara terhadap Sertu Riza Pahlivi, prajurit TNI yang terbukti menganiaya pelajar SMP berinisial MHS (15) hingga meninggal dunia. Putusan ini memicu gelombang kekecewaan dan kecaman dari berbagai pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan keluarga korban yang menilai vonis tersebut tidak adil dan mencederai rasa kemanusiaan.
Vonis Ringan, Korban Meninggal Dunia
Dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Militer I-02 Medan, Senin (20/10/2025), Ketua Majelis Hakim Letkol Ziky Suryadi menyatakan terdakwa Sertu Riza Pahlivi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana karena kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP juncto Pasal 190 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Majelis hakim menjatuhkan pidana 10 bulan penjara dan memerintahkan terdakwa membayar restitusi sebesar Rp 12.777.100 kepada keluarga korban. Ironisnya, meski sudah divonis bersalah, Sertu Riza tidak ditahan selama proses persidangan.
Jaksa militer sebelumnya menuntut hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan, namun majelis hakim memutus lebih ringan dari tuntutan tersebut.
KPAI: Putusan Tidak Sebanding dengan Derita Korban
Komisioner KPAI Diyah Puspitarini menilai vonis tersebut terlalu ringan dan tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan.
“Vonis ini sangat ringan. Korban meninggal dunia, sementara proses hukum berlangsung lama. Dari awal KPAI sudah mendorong agar kasus ini tidak hanya disidang etik, tetapi juga diproses pidana umum,” ujar Diyah kepada wartawan, Senin (27/10/2025).
Menurutnya, pelaku seharusnya diadili di peradilan umum, karena tindakannya berkaitan dengan pelanggaran pidana terhadap anak, bukan pelanggaran disiplin militer.
Menteri PPPA: Harusnya di Peradilan Umum
Sikap senada disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi. Ia menegaskan bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap anak adalah tindak pidana yang tidak dapat ditoleransi.
“Hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap anak harus memberikan efek jera. Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer,” kata Arifah dikutip dari Antara, Minggu (26/10/2025).
Arifah juga menegaskan bahwa negara wajib memastikan keadilan dan perlindungan terbaik bagi setiap anak Indonesia.
Tangisan Keluarga Korban: “Anakku Dibunuh, Hukum Tak Adil”
Suasana haru menyelimuti halaman Pengadilan Militer I-02 Medan usai pembacaan putusan. Lenny Damanik, ibu almarhum MHS, tak kuasa menahan tangis sambil menggenggam foto anaknya.
“Saya kesal kali dengar hukuman itu, dari satu tahun jadi sepuluh bulan. Padahal anak saya sudah meninggal dibunuh. Saya mohon dihukum seadil-adilnya,” ujar Lenny dengan air mata berlinang.
Di sisi lain, Datmalem Haloho (51), bibi korban, histeris di depan pintu masuk pengadilan. Ia menilai putusan hakim sangat tidak masuk akal.
“Itu tidak adil! Cuma sepuluh bulan. Kalau begitu, semua pembunuh bisa bebas. Saya bodoh pun tahu itu tidak adil,” teriak Datmalem.
Sambil menangis, ia bahkan memanggil nama Presiden Prabowo Subianto, berharap Kepala Negara turun tangan.
“Tolong Pak Prabowo, tolong kami. Bayangkan, nyawa anak hilang. Sama siapa lagi kami mengadu?” katanya pilu.
LBH Medan: Sejarah Terburuk Penegakan Hukum Militer
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan), Irvan Sahputra, menyebut putusan ini sebagai catatan hitam dalam sejarah peradilan militer Indonesia.
“Vonis ini sangat mengecewakan dan mencederai keadilan publik. Ini bisa menjadi preseden buruk bahwa kekerasan aparat terhadap anak dianggap hal sepele,” ujar Irvan.
Pendamping hukum keluarga korban dari LBH Medan, Richard Hutapea, juga mengecam putusan tersebut. Menurutnya, hakim tidak mempertimbangkan dampak psikis dan kehilangan yang dialami keluarga korban.
Pangdam I/BB: “Itu Sudah Bukan Kewenangan Kami”
Menanggapi putusan tersebut, Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Rio Firdianto menyatakan pihaknya tidak dapat mengomentari berat ringannya hukuman karena perkara itu telah menjadi ranah peradilan militer.
“Saya pelajari dulu ya, karena itu bukan bidang saya lagi. Kalau sudah masuk peradilan militer, kami serahkan ke mereka,” ujar Rio kepada detikSumut, Selasa (21/10/2025).
Rio menambahkan, setiap anggota TNI yang melakukan pelanggaran tetap akan diproses sesuai hukum yang berlaku, baik secara disiplin maupun pidana.
Catatan Redaksi: Keadilan Anak di Ujung Tanduk
Kasus MHS menjadi pengingat bahwa keadilan bagi anak korban kekerasan masih sering dikalahkan oleh sistem peradilan yang tidak berpihak. Vonis 10 bulan untuk pelaku yang menyebabkan kematian anak jelas tidak mencerminkan rasa keadilan sosial.
Publik kini menunggu langkah lanjutan dari Kementerian PPPA, KPAI, dan Presiden Prabowo Subianto untuk menegakkan prinsip “the best interest of the child” dalam hukum Indonesia — bukan sekadar slogan. ( RI, RED)




