• Jelajahi

    Copyright © INEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Follow on Google+

    ANGIN KENCANG DAN PETIR CUACA DI INDONESIA, MASSA PERALIHAN

    Admin
    Senin, 27 Oktober 2025, 10/27/2025 11:55:00 PM WIB Last Updated 2025-10-27T17:02:01Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


    iNEWS, Jakarta  — Cuaca di berbagai wilayah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir menjadi semakin tak menentu.
    Pagi hingga siang udara terasa terik menyengat, dengan suhu mencapai 37,6 derajat Celsius, namun menjelang sore hujan deras turun mendadak disertai angin kencang dan petir.
    Fenomena cuaca ekstrem ini membuat masyarakat bingung sekaligus cemas, karena dampaknya kini tidak hanya terasa pada kesehatan, tetapi juga pada keselamatan dan aktivitas harian.


    Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi tersebut merupakan indikasi kuat bahwa Indonesia tengah berada dalam masa peralihan musim atau pancaroba, dari musim kemarau menuju musim hujan.


    BMKG Imbau: Hindari Paparan Matahari Langsung 10.00–16.00 WIB


    Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menjelaskan, periode pukul 10.00–16.00 WIB adalah saat intensitas radiasi matahari paling tinggi. Karena itu, BMKG mengeluarkan imbauan agar masyarakat tidak beraktivitas terlalu lama di luar ruangan pada jam tersebut.


    “Jam 10.00 hingga 16.00 WIB adalah waktu ketika sinar matahari maksimum dan panasnya terasa ekstrem. Paparan sinar langsung terlalu lama bisa memicu heatstroke, dehidrasi, hingga gangguan kulit,” ujar Guswanto kepada detikcom, Sabtu (18/10/2025).

     

    BMKG mencatat suhu maksimum 37,6°C terjadi di beberapa kota besar seperti Surabaya, Palembang, Kupang, dan Makassar. Sementara wilayah Jawa bagian tengah hingga timur masih mendominasi suhu panas harian di atas 35°C.


    Kondisi ini diperkirakan berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November 2025, sebelum intensitas panas menurun seiring datangnya musim hujan.


    Gerak Semu Matahari dan Monsun Australia Jadi Pemicu Panas Ekstrem


    Fenomena panas ekstrem yang melanda Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, posisi gerak semu matahari yang pada Oktober ini berada di selatan garis ekuator, menyebabkan wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan menerima penyinaran langsung dan intens.


    Kedua, adanya penguatan Monsun Australia, yakni aliran massa udara kering dari arah selatan (Australia) menuju utara (Asia Tenggara), yang membawa udara panas dan menekan pembentukan awan.


    “Monsun Australia membawa massa udara kering dan hangat, membuat langit cenderung cerah sehingga sinar matahari langsung memanaskan permukaan bumi secara maksimal,” kata Guswanto, Rabu (15/10/2025).

     

    Kombinasi kedua faktor ini menyebabkan energi panas terkumpul di permukaan, meningkatkan suhu harian dan memperbesar potensi terbentuknya awan konvektif — awan tebal penghasil hujan badai — pada sore hingga malam hari.


    Hujan Deras, Pohon Tumbang, Tiang Listrik Roboh


    Selain panas ekstrem, fenomena hujan mendadak disertai angin kencang juga semakin sering terjadi. Minggu (26/10/2025), sekitar pukul 13.30 WIB, hujan deras dan angin kencang melanda Jakarta Selatan hingga menyebabkan pohon tumbang menimpa pengendara.
    Di Tangerang Selatan, hujan deras yang sama memicu robohnya tiang listrik di beberapa titik jalan utama.


    “Inilah ciri khas pancaroba — siang panas menyengat, sore berubah menjadi hujan deras bahkan angin kencang. Cuaca ekstrem ini perlu diwaspadai karena datang mendadak dan tidak jarang menimbulkan korban jiwa,” jelas Guswanto.

     

    BMKG juga mencatat potensi hujan lokal hingga hujan lebat masih tinggi di wilayah Sumatera bagian tengah dan utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, serta Papua bagian pegunungan.


    Peringatan Panas Ekstrem Masih Berlaku Hingga Akhir Oktober


    BMKG memastikan peringatan panas ekstrem yang dikeluarkan sejak awal Oktober masih berlaku hingga akhir bulan ini.
    Khusus bagi wilayah perkotaan padat penduduk, efek panas dapat terasa lebih tinggi karena fenomena “urban heat island”, di mana bangunan beton dan aspal menyerap serta memantulkan panas lebih lama.


    “Beberapa kota besar seperti Surabaya dan Palembang masih mencatat suhu maksimum di atas 37 derajat. Namun seiring datangnya hujan awal musim, suhu akan mulai menurun bertahap,” ujar Guswanto.

     

    Dampak Kesehatan dan Imbauan BMKG


    BMKG mengingatkan masyarakat untuk tidak mengabaikan dampak kesehatan akibat panas ekstrem, terutama heatstroke (sengatan panas) yang dapat berujung fatal bila tidak ditangani.


    Beberapa langkah pencegahan yang disarankan:


    1. Hindari paparan langsung sinar matahari antara pukul 10.00–16.00 WIB.
    2. Gunakan pelindung diri seperti topi, payung, kacamata hitam, atau pakaian berwarna terang.
    3. Perbanyak konsumsi air putih dan hindari minuman berkafein.
    4. Kurangi aktivitas fisik berat di luar ruangan.
    5. Perhatikan kondisi anak-anak, lansia, dan pekerja lapangan yang paling rentan terhadap suhu tinggi.

     

    “Selain itu, waspadai pula hujan lokal disertai petir dan angin kencang di sore hingga malam hari. Cuaca ekstrem dapat memicu bencana hidrometeorologi seperti pohon tumbang, banjir, atau tanah longsor,” tambahnya.


    Analisis: Cuaca Pancaroba, Cermin Ketidakseimbangan Iklim


    Pakar klimatologi dari Universitas Indonesia, Dr. Haryo Nugroho, menilai fenomena ekstrem yang kini terjadi menunjukkan pergeseran pola iklim di Indonesia akibat perubahan global.


    “Pancaroba memang fenomena tahunan, tapi intensitas panas dan curah hujan ekstrem tahun ini menunjukkan anomali iklim. Artinya, Indonesia semakin rentan terhadap efek perubahan iklim global,” ujarnya.

     

    Haryo menilai, pemerintah daerah perlu meningkatkan kesiapsiagaan iklim dengan memperkuat sistem drainase, penghijauan kota, dan mitigasi bencana cuaca ekstrem.


    Adaptasi Iklim Jadi Kunci


    Cuaca yang kini tak menentu bukan sekadar gejala musiman, tetapi peringatan alam bahwa ekosistem Indonesia sedang beradaptasi terhadap perubahan iklim global.
    Fenomena “panas ekstrem lalu hujan badai” akan terus berulang jika tidak diimbangi dengan kesadaran ekologis dan kesiapsiagaan publik.


    BMKG menegaskan, adaptasi dan kewaspadaan terhadap cuaca ekstrem adalah tanggung jawab bersama — bukan hanya tugas lembaga cuaca, tapi seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah.
    Karena dalam situasi seperti ini, yang bertahan bukan yang terkuat, tapi yang paling siap. ( Tim )

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini