iNews - Tebing Tinggi - Serdang Bedagai, Sumatera Utara – Kasus pelaporan dugaan penganiayaan yang menyeret keluarga wartawan Satam JM, anggota Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI), memicu polemik serius di tengah dugaan kuat intervensi aparat penegak hukum. Indikasi kriminalisasi terhadap wartawan, manipulasi alat bukti, hingga dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum di Polres Tebingtinggi menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Fakta Lapangan Dibalik Tekanan Proses Hukum
Meski sejumlah bukti memperlihatkan bahwa keluarga Satam adalah korban, bukan pelaku, pihak penyidik dikabarkan tetap bersikeras menaikkan status perkara. Peristiwa itu terjadi di Dusun II, Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebingtinggi, Kabupaten Serdang Bedagai, yang juga merupakan tempat kejadian perkara (TKP).
Ironisnya, rekaman video yang menunjukkan aksi penyerangan terhadap rumah Satam oleh pelapor berinisial Anggraini alias Ani, sempat viral di media sosial. Namun kemudian, video tersebut dihapus tanpa penjelasan, diduga kuat untuk menghilangkan alat bukti kunci.
“Saya masih menyimpan rekamannya. Tapi anehnya, justru kami yang dituduh sebagai pelaku. Ini tidak masuk akal, ada upaya menyesatkan proses hukum,” ungkap Satam, tegas.
Indikasi Kriminalisasi Wartawan dan Manipulasi Proses Hukum
Satam menduga ada upaya sistematis menggiring opini publik agar dirinya seolah-olah pelaku kekerasan, sementara pihak pelapor, yang diduga sebagai penyerang, justru dilindungi. Ia menilai hal ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap wartawan yang kritis terhadap institusi negara.
“Setiap Hari Pers Nasional kita dipuji-puji, tapi di lapangan wartawan masih diintimidasi. Sinergitas pers dan aparat hanya menjadi slogan tanpa makna,” kritik Satam.
Penasehat Hukum: Tidak Penuhi Unsur Pidana, Layak SP3
Kuasa hukum Satam, Hendra Prasetyo Hutajulu, SH., MH., menyatakan bahwa laporan penganiayaan yang dibuat pelapor tidak memenuhi unsur hukum. Bahkan menurutnya, alat bukti justru menguatkan posisi Satam sebagai korban.
“Bukti rekaman video dan tidak adanya saksi kunci yang mendukung versi pelapor membuat kasus ini secara hukum lemah. Sudah seharusnya diterbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan),” ujar Hendra.
Desakan Gelar Perkara di TKP dan Evaluasi Etik ke Propam
Dalam upaya menjamin transparansi dan objektivitas, pihak keluarga dan kuasa hukum Satam meminta agar gelar perkara dilakukan langsung di TKP, bukan di kantor Polres Tebingtinggi.
“Kami mendesak Propam Polda Sumut dan bahkan Propam Mabes Polri untuk turun langsung memeriksa potensi pelanggaran etik oleh oknum penyidik Unit PPA Polres Tebingtinggi. Jangan sampai hukum dipermainkan untuk membungkam pers,” tambah Satam.
Ujian Serius bagi Netralitas Penegak Hukum
Kasus ini menjadi indikator serius tentang bagaimana aparat penegak hukum memperlakukan jurnalis yang vokal. Bila gelar perkara tetap dilakukan secara tertutup di lingkungan Polres tanpa melibatkan unsur independen atau pengawasan eksternal, integritas hukum patut dipertanyakan.
AKPERSI menyatakan sikap: Bila wartawan terus ditekan dan difitnah, maka demokrasi ikut mati. Kasus ini bukan hanya menyangkut satu orang, tapi menyangkut marwah profesi pers secara nasional. ( Tim)


