iNews, Pekanbaru — 8 Agustus 2025 — Dunia pers kembali diguncang aksi kekerasan brutal. Enam wartawan menjadi korban penganiayaan, intimidasi, dan perampasan alat kerja saat melakukan peliputan dugaan penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di SPBU Tabe Gadang, Pekanbaru, Riau, Kamis (7/8) sekitar pukul 17.30 WIB.
Para korban—Edy Hasibuan (Nusantara Expres), Hotlan Tampubolon (Zona Merah Putih), Ilhamudim (Zona Merah Putih), Ahmad Mizan (Nusantara Expres), Ilham Mutasoib (Zona Merah Putih), dan Alvanza Pebrian Siregar (Garuda Expres)—seluruhnya merupakan pengurus DPD AKPERSI Provinsi Riau.
Kronologi Brutal di Lokasi
Menurut keterangan saksi, para jurnalis tengah merekam aktivitas sejumlah mobil modifikasi yang diduga sebagai pengepul BBM bersubsidi. Tindakan mereka langsung dihalangi oleh petugas keamanan SPBU dan staf. Tidak lama berselang, sekitar 40 orang—diduga sopir pengepul dan kaki tangan mereka—mengepung wartawan, merampas telepon genggam, merusaknya, dan memukul para korban.
Beberapa wartawan mengalami luka serius, memar, hingga kesulitan berjalan. Peralatan kerja yang dirusak termasuk ponsel dan perangkat rekam, menghambat bukti liputan yang tengah dikumpulkan.
Kecaman AKPERSI: Pelanggaran Nyata UU Pers
Ketua DPD AKPERSI Riau, Irfan Siregar, langsung mengevakuasi korban ke RS Bhayangkara untuk visum. Ia menegaskan insiden ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang mengancam pelaku dengan hukuman penjara dan denda hingga Rp500 juta.
“Apapun alasannya, jurnalis yang menjalankan tugas dilindungi undang-undang. Kami tidak akan mundur,” tegas Irfan.
Ketua Umum DPP AKPERSI, Rino Triyono, mengecam keras dan memerintahkan investigasi internal. Temuan awal mengarah pada dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum yang menjadi “beking” praktik pengepokan BBM ilegal di lokasi.
“Ini bukan sekadar penganiayaan, ini serangan terhadap kebebasan pers dan upaya membongkar kejahatan ekonomi. Kami tantang Kapolda Riau menangkap pelaku dan menutup SPBU Tabe Gadang. Jika tidak, kasus ini akan kami bawa ke Mabes Polri,” ujar Rino.
Indikasi Mafia BBM dan Pembiaran Aparat
Hingga berita ini diturunkan, Polresta Pekanbaru belum menahan satupun pelaku. Lambannya respon polisi dinilai AKPERSI sebagai sinyal pembiaran.
Informasi yang diperoleh menunjukkan praktik pengepokan BBM masih berjalan pasca-insiden, seolah kebal hukum. Pergantian penyidik secara mendadak turut memunculkan kecurigaan lemahnya komitmen penyelidikan.
“Kami lapor ke institusi, bukan ke individu polisi. Kalau kasus ini mandek, artinya ada masalah di tubuh penegak hukum,” kata Rino.
Ultimatum: #NoViralNoJustice
Jika tidak ada progres penegakan hukum, AKPERSI akan menggalang pemberitaan nasional di jaringan media mereka di 33 provinsi dengan kampanye #NoViralNoJustice.
Langkah ini menjadi ujian bagi Polri sesuai amanat UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menegaskan kewajiban melindungi masyarakat dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Jika Polri di Riau gagal memberi keadilan, publik akan menilai sendiri. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat akan runtuh,” tegas Rino.
Catatan AKPERSI
Kekerasan terhadap wartawan adalah pelanggaran ganda—pidana umum dan pelanggaran kebebasan pers yang dijamin konstitusi. Kasus ini memperlihatkan hubungan gelap antara mafia BBM dan oknum aparat yang jika tidak segera diputus, akan menggerogoti supremasi hukum dan demokrasi di Indonesia. ( Tim Red)


